¨ بسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم *
السلام عليكم ورحمة الله وبركته
*•*¨*•♫♥♥♥♥♥♫•*¨*• *
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui “. (QS. : 17 : 1).
Peringatan Isra' Mi'raj Nabi
Besar Muhammad Saw (Rajaban) senantiasa berhubungan dengan kehadiran
Tuhan, dan intelegensi kosmik, yang juga bersinar di dalam diri manusia
yang melakukan peringatan atau Rajaban di bulan itu, dan merupakan
sarana pula untuk menyadari keberadaan yang Maha Esa.
Datangnya
wahyu secara tiba-tiba seperti kilat, yang berisikan perintah Allah Swt
kepada Nabi Muhammad Saw, agar menjalankan Isra' dan Mi'raj dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dapat disamakan dengan “jatuhnya batu
di sebuah kolam air yang menimbulkan riak-riak untuk bergerak keluar
seperti lingkaran konsentris dari pusat “.
Al-Qur'an dengan
struktur puitisnya, yang berdasarkan irama yang tegas dan pola nada yang
sangat halus. Mengundang reaksi dalam jiwa masyarakat Islam, dan
menjadikan Peringatan Isra' Mi'raj Nabi Besar Muhammad Saw (Rajaban),
sebagai suatu budaya yang sangat penting dalam Agama Islam, karena ia
(Isra' Mi'raj) merupakan induk dari berbagai budaya Islam lainnya.
Peringatan Isra' Mi'raj Nabi Besar Muhammad Saw ini (Rajaban)
merefleksikan gema kitab Suci dalam pikiran setiap orang muslim yang
memperingati atau mengerjakan berbagai ibadah-ibadah suci lainnya
seperti puasa, dzikrullah (Istigfar Rajab), dan lain sebagainya di bulan
suci itu. Dan pada gilirannya gema tersebut akan membuat kenangan dalam
pikiran dan jiwa orang - orang yang melakukannya dengan hati yang
ikhlash karena Allah Ta'ala semata. “Karena keikhlasan inilah yang akan
mengembalikan mereka pada keadaan dengan kegembiraan dan keindahan
surgawi”. Di sinilah pengaruh kimiawi atas jiwa seseorang dalam
menjalankan puasa dan memperbanyak dzikrullah (Istigfar Rajab) di bulan
itu akan mempengaruhi jiwanya, terhadap adanya kebenaran.
Berdasarkan seluruh kehidupan yang mencerminkan kebudayaan Islam
tradisional, semua bentuk-bentuk ibadah didalamnya akan saling
berhubungan melalui prinsip-prinsip tradisional, yang meresapkan nilai
kesucian, seperti halnya prinsip-prinsip spiritual yang mendominasi
seluruh aspek kehidupan manusia tradisional dalam semua bentuknya.
Nabi Muhammad Saw saat melakukan Mi'raj (pendakian) ketingkat
perjalanan akhirnya (langit ke tujuh), menuju hadirat Tuhan, ia
diselimuti oleh “Raf-raf” (kain hijau) yang turun dari atas dengan
cahayanya yang sangat menyilaukan pandangan matanya. Cahaya itu lebih
kuat dari cahaya (sinar) matahari. Setelah raf-raf (kain hijau)
membungkus dirinya, Ia (Nabi Muhammad Saw) terangkat keatas dan
melintasi tabir demi tabir, yang akhirnya ia (Muhammad Saw) telah
melintasi tujuh puluh tabir, yang mana jarak antara tabir ke tabir
lainnya adalah lima ratus tahun perjalanan. Dan sampailah ia pada
singgasana Tuhan Yang Esa (Al-Arsy).
Cahaya yang menyinari
raf-raf (kain hijau) senantiasa berhubungan dengan kehadiran Tuhan dan
mencerminkan Ke Maha Kasih-Nya atas diri manusia yang paling sempurna
dimuka bumi (Muhammad). Al-Qur'an telah menyebutkan: “Cahaya diantara
cahaya. Allah membimbing siapa yang Dia kehendaki menuju cahaya” (Q.S.24
: 35).
Tujuh puluh tabir yang dilintasi (dilewati) oleh Nabi
Saw, terletak diatas A'raaf (tempat yang paling tinggi diantara surga
dan neraka) dan sebagian pembatasnya (surga dan neraka). Pada setiap
satu tabir terdapat pintu gerbang yang terbuat dari cahaya. ”Perumpamaan
cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus (Misykat),
yang didalamnya ada pelita besar”. (Q.S. 24 : 35).
Selain
memudahkan pelaksanaan ibadah puasa dan dzikrullah (Istigfar Rajab),
Islam juga mengungkapkan watak teomorfis manusia yang lebih baik
daripada menyembunyikannya. Seseorang yang menikmati puasa dan
dzikrullah (Istigfar Rajab) di bulan itu (Rajab), atau yang mampu
menjalankannya dengan baik dan benar, maka secara potensial ia akan
tetap hidup di surga yang ia ciptakan melalui keanggunan batin Al-Qur'an
- Al-Kariim.
Sedangkan bagi mereka yang tidak memahami, dan
tidak mampu menjalaninya. Maka mereka seperti telah jatuh keluar dari
surga itu, karena mereka mengalami kejatuhan spiritual yang menjadi
alasan utama desakkan mereka untuk tidak menjalaninya, walau sebenarnya
mereka memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini menunjukkan kegagalan
mereka dalam mencapai tujuan yang suci lagi mulia.
“ Suatu
kegagalan dalam mencapai tujuan di luar tradisi spiritual universal
mereka terhadap keadaan obyektif dunia, sebuah interpretasi yang sama
sekali tidak eksis dalam subyektivisme individual, dan kolektif yang
mengalihkan kejatuhan jiwa menjadi keadaan yang dibutuhkan oleh
eksistensi manusia dalam dunia kontemporer “.
Masyarakat Islam
mampu melaksanakan dan mempertahankan budayanya yang bersifat spiritual
sekaligus sensual, menyingkap selubung yang menutupi keindahan dunia ini
beserta sifat fananya, dan menjelma dalam bentuk tatanan ibadah dan
hari peringatan yang suci dan mensucikan pada alam transenden yang indah
melalui teofani Tuhan.
Peringatan Isra' Mi'raj Nabi Besar
Muhammad Saw (Rajaban) merupakan warisan Muhammad Saw yang tetap di
anggap sebagai realitas yang masih hidup dan tetap menyala laksana kutub
- kutub spiritual dan norma - norma teladan. Peringatan Isra' Mi'raj
Nabi Besar Muhammad Saw (Rajaban) tetap menjadi perhatian para pencari
kebenaran dalam masyarakat Islam, dan jiwa para pelaku yang menjalankan
ibadah puasa dan memperbanyak dzikrullah (Istigfar Rajab) di bulan Rajab
itu, akan menjadi nilai universal bagi seluruh dunia Islam pada saat
kebodohan mengancam untuk mencekik berbagai bentuk ibadah serta
spiritualnya.
Oleh karena itu kewajiban masyarakat Islam adalah
mengetahui dan memahami hakikat dari peringatan Isra dan Mi'raj
Rasulullah Saw ini, dan bukan dianggap hanya sekadar hiburan semata,
akan tetapi pahami pula prinsip-prinsip yang mendasarinya agar
mendapatkan manfaat dan peningkatan yang membuatnya menjadi mungkin
untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam ke substansi ilahi
dan kemudian memberitahukannya kepada yang lain.
Mengenai
mereka yang tidak memahami makna dari peringatan Isra Mi'raj Nabi Besar
Muhammad Saw ini (Rajaban), serta ketidaktahuan mereka atas
prinsip-prinsip yang menyelimutinya. Maka merupakan tugas suci lagi
mulia untuk tidak menyembunyikan ketidaktahuan mereka dengan sebuah
kebanggaan untuk menghancurkan segala sesuatu yang tidak diketahuinya.
“ Kejujuran yang kini dibicarakan setiap orang, menuntut agar seseorang
tidak merusak karena kebutaannya terhadap realitas tradisi Islam,
ataupun karena kreasi artistik yang telah kehilangan dirinya sendiri “.
Kekuatan kreatif dan kegembiraan seseorang yang melakukan Peringatan
Isra Mi'raj Nabi Besar Muhammad Saw (Rajaban), jauh dari adanya
pencekikan, maka ia akan terbebas dari belenggu dan keterbatasan
subyektif dirinya sendiri, dan ia pun akan memperoleh suatu
universalitas dan kekuatan yang luar biasa. Orang seperti inilah yang
tidak akan pernah menghilangkan makna spiritual dari budaya Islam yang
umumnya disebabkan oleh kekeliruan interpretasi mengenai lingkungan
tertentu yang membatasi Islam hanya pada aspek luarnya saja dan
mengabaikan jurang yang memisahkan keindahan dan kemudharatan.
“Seorang muslim sejati akan dengan rendah hati menyadari keagungan
tradisi yang dapat memberi arah dan orientasi kepadanya melalui
penyerahan diri, pemusatan dan peleburan batin sepenuhnya “.
Maka dalam penyerahan diri dan bakatnya kepada tradisi ini, ibadah dan
dzikrullah (Istigfar Rajab) yang dihasilkannya akan menjadi suci dan
bersih dari taqlid buta. Melalui Peringatan Isra Mi'raj Nabi Besar
Muhammad Saw (Rajaban) itu akan terbentuklah kembali keselarasan
fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali pada keberadaan dan
kesadarannya yang lebih tinggi. Sedangkan doktrin tentang keselarasan
dalam makrokosmos akan terwujud pada taraf realitas yang lebih tinggi
dan menjadi suram serta semakin samar dalam tingkat kosmos yang semakin
rendah. Walaupun keselarasan (tanasub) itu sendiri merupakan bagian dari
surgawi, bagian dari kosmik dan hirarki universal serta sekaligus
menjadi sumber pencerahan.
Berbagai definisi dalam kebudayaan
Islam bahwa Peringatan Isra Mi'raj (Rajaban) berkaitan erat dengan hukum
yang mengatur gerak pemikiran manusia dalam perjalanannya menuju sumber
spiritualitas sejati dengan beragam landasan epistemologis untuk
mencapai kepastian yang logis dan mungkin saja terdapat perbedaan hasil
dari masing-masing perjalanan yang dilaluinya itu melalui kemurnian dari
tatanan suatu ibadah yang suci dan mensucikan.
Sementara
hubungan antara Peringatan Isra Mi'raj (Rajaban) dan ibadah-ibadah suci
yang dilakukan di bulan itu adalah merupakan suatu jembatan
spiritualisme Islam yang justru dapat ditemukan dari hubungan metafisik
yang mengikat keduanya. Karena spiritual dan ibadah tak pelak lagi
selalu dikaitkan dengan “logos” dan menurut sudut pandang tradisional
merupakan proses yang diikuti oleh pikiran dalam pencariannya (thallab)
akan kebenaran.
Proses ini dimungkinkan oleh kekuatan logis
pikiran yang merupakan perluasan dari prinsip intelektual, yang tiada
lain adalah refleksi dari intelek Tuhan atau logos dalam bentuk pikiran.
Prinsip yang sama ini merupakan sebab ontologis realitas kosmik, oleh
karenanya ada hubungan (persesuaian) antara proses mental manusia dalam
menjalani puasa di bulan Rajab dengan realitas eksternal, dan adanya
kemungkinan bagi kecakapan logis pikiran untuk mencari kebenaran yang
sesuai dengan realitas eksternal.
Prinsip ini pula-lah yang
memberi makna pada substansi ibadah puasa di bulan Rajab itu. Oleh
karena itu, menurut doktrin tradisional, puasa dan spiritual mempunyai
sumber yang sama, yaitu intelek, dan saling melengkapi, jauh dari adanya
pertentangan. Maka Peringatan Isra Mi'raj akan menjadi pertentangan
dengan spiritual hanya apabila respek terhadap logika yang telah diubah
menjadi rasionalisme, karena sesungguhnya Peringatan Isra Mi'raj dan
ibadah-ibadah yang dilakukan di bulan itu merupakan “sarana untuk
mengekspresikan pengetahuan yang benar-benar intelektual yang direduksi
menjadi transformasi dalam jiwa manusia dengan ditemukannya kembali
hubungan primordial manusia dengan prinsip spiritual dan intelektual
segala sesuatu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar