Khilafah Ajaran Aswaja
Definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah),
menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin
yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah)
dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam
[khalifah] dan tidak keluar dari jamaah mereka (sehingga disebut wal
jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16).
Definisi serupa disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam
kitabnya Al-Ghaniyah, bahwa disebut ahlus sunnah karena mengikuti apa
yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW). Dan disebut wal
jamaah, karena mengikuti ijma' shahabat mengenai keabsahan kekhilafahan
empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa 'alaihi ashhabu
rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba'ah al khulafa` ar-rasyidin).
(Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992,
hal. 31)
Dari pengertian Aswaja di atas, jelas sekali bahwa
ajaran Khilafah dengan sendirinya sangat melekat dengan ajaran Aswaja.
Sebab Khilafah sangat terkait dengan istilah wal jamaah. Jadi, jamaah di
sini maksudnya adalah kaum muslimin yang hidup di bawah kepemimpinan
khalifah dalam negara Khilafah. Khilafah merupakan prinsip dasar yang
sama sekali tidak terpisahkan dengan Aswaja.
Kesatuan Aswaja
dan Khilafah ini akan lebih dapat dipastikan lagi, jika kita menelaah
kitab-kitab yang membahas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam
kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam
kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung : Pustaka, 1988), karya Imam Abu Hanifah
(w. 150 H) dan Imam Syafi'i (w. 204 H), terdapat pasal yang menegaskan
kewajiban mengangkat imam (khalifah) (pasal 61-62).
Dalam kitab
Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H)
menerangkan 15 prinsip Aswaja. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya
Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,"Inna al-imaamah fardhun
'ala al-ummah." (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat).
(Lihat Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut :
Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il
Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w.
606 H) beliau mengatakan,"Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib atas
umat Islam." Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w.
456 H) dalam kitabnya 'Ilmu Al-Kalam 'Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah
hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.
Hal yang sama juga
terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah, karya Sayyid Husain
Efendi, hal.189, beliau mengatakan,"Ketahuilah bahwa wajib atas kaum
muslimin secara syara' untuk mengangkat seorang Khalifah..." (i'lam
annahu yajibu 'ala al-muslimin syar'an nashb al-khalifah...).
Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam
kitab-kitab tafsir, hadits, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa
bahwa Khilafah memang kewajiban syar'i menurut paham Aswaja. Imam
Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,"Tidak ada
perbedaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu [Khilafah] di
antara umat dan para imam, kecuali yang diriyawatkan dari Al-Asham, yang
memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina
al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya 'an al-asham haitsu
kaana 'an asy-syariah asham...). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim
(12/205) berkata,"Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin
mengangkat seorang khalifah." (ajma'uu 'alaa annahu yajibu 'ala
al-muslimin nashbu khalifah). Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah
hal. 5 berkata,"Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya
di tengah umat, adalah wajib menurut ijma'." (aqdul imamah liman yaquumu
bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma').
Jelaslah, bahwa
Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Aswaja dalam berkehiduan
bernegara dan bermasyarakat. Khilafah adalah wajib menurut Aswaja.
Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib kalau ada individu atau
kelompok yang mengklaim penganut Aswaja, tapi mengingkari atau bahkan
mencemooh Khilafah. Pengingkaran penganut Aswaja terhadap Khilafah
adalah batil, karena tindakan itu sesungguhnya adalah upaya memisahkan
Aswaja dengan Khilafah. Ini jelas-jelas upaya keji dan jahat untuk
merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip
dasarnya.
Demokrasi Bukan Ajaran Aswaja
Adapun sistem
bernegara dan bermasyarakat sekarang, yaitu sistem demokrasi, sama
sekali bukan ajaran Aswaja, melainkan konsep kafir penjajah yang
sebenarnya haram diterapkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Banyak
ulama masa kini yang mengecam demokrasi dan memfatwakan haramnya
menerapkan sistem demokrasi. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab
Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufrin (1990) menegaskan : "Demokrasi adalah
sistem kufur, haram mengambilnya, menerapkannya, dan
mempropagandakannya." (ad-dimuqrathiyah nizham kufrin yahrumu akhdzuha
aw tathbiquhaa aw ad-da'watu ilaihaa). Demokrasi disebur sistem kufur,
tiada lain karena menyerahkan hak menetapkan hukum pada manusia, padahal
menetapkan hukum hanyalah hak Allah semata (QS Al-An`am : 57). Kecaman
serupa terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj dalam
kitabnya Ad-Damghah Al-Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyah.
Menurut Belhaj, umat Islam haram mengikuti demokrasi, karena termasuk
perbuatan menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) (hal 18-19).
Karena itu, sesungguhnya telah jelas sekali bahwa demokrasi bukanlah
konsep Aswaja. Demikian pula, segala sesuatu yang terkait dengan
demokrasi itu, yakni paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan),
yang menjadi ide dasar demokrasi. Juga bentuk pemerintahan yang lahir
dari sistem demokrasi, yaitu sistem republik, baik republik parlementer
maupun presidensial.
Semua konsep itu (demokrasi, sekularisme,
republik) bukanlah konsep Aswaja, melainkan ajaran-ajaran asing yang
kafir yang sudah berada di luar lingkaran Islam (laisa minal Islam).
Semua konsep asing itu terwujud di Dunia Islam bukanlah terjadi secara
damai dan atas kesadaran umat Islam itu sendiri, melainkan terjadi
melalui paksaan, yaitu penjajahan yang kejam pada abad ke-19 dan ke-20.
Terlebih lagi setelah Khilafah Islam di Turki hancur tahun 1924.
Penjajahan itu selanjutnya membuat sistem pendidikan sekular yang
akhirnya melahirkan manusia-manusia yang walau agamanya Islam (dan
mungkin mengklaim berpaham Aswaja), tapi ideologinya sekular-liberal.
Tidak kenal atau percaya lagi dengan Khilafah, tapi kenalnya demokrasi,
sekularisme, dan sistem republik. Sungguh ironis dan menyedihkan.
Kita sebagai umat Islam, khususnya Aswaja, wajib kembali kepada ajaran
yang benar dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu kembali pada
Khilafah, bukan pada demokrasi. Kalau kita mengikuti demokrasi, berarti
kita sudah terjerumus ke dalam dosa sebagaimana sabda Nabi SAW :
"Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) umat sebelum kamu,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka
masuk ke lubang biawak, kamu akan mengikuti mereka juga. Para shahabat
bertanya, "Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?" Rasulullah SAW
menjawab,"Lalu siapa lagi?" (HR Bukhari dan Muslim).
Fungsi Khilafah : Menegakkan Syariah
Khilafah bukan ditujukan untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan
ditujukan untuk menerapkan syariah Islam. Khilafah, menurut Taqiyuddin
An-Nabhani (w. 1977), adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum
muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan
mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia (ri'asatun 'aammatun lil
muslimina jami'an fi ad-dunya li iqamati ahkam asy-syar`i al-islami wa
haml ad-dakwah al-islamiyah ila al-alam). (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Beirut : Darul Ummah, 2003, 2/14).
Jadi, Khilafah itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan
sekedar metode (thariqah) untuk menerapkan hukum-hukum syariah Islam
dalam segala aspeknya di dalam negeri. Syariah Islam itulah yang
nantinya akan menyelesaikan segala masalah manusia (mu'alajat li
masyakil al-insan), khususnya masalah publik semisal masalah dalam
bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Dan
Khilafah berfungsi sebagai institusi pelaksana untuk syariah Islam ini.
Inilah fungsi Khilafah dalam negeri, yakni menerapkan Syariah Islam
khususnya dalam bidang-bidang yang tidak dapat tegak kecuali dengan
adanya Khilafah.
Penutup
Khilafah adalah ajaran asli
Aswaja, sedang demokrasi bukan ajaran Aswaja, melainkan ajaran kafir
penjajah yang dipaksakan atas umat Islam. Upaya memisahkan Aswaja dengan
Khilafah, adalah upaya yang nyata-nyata merusak, menghancurkan, dan
memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.
Sudah saatnya
umat Islam, khususnya yang berpaham Aswaja, untuk kembali kepada
Khilafah dan membuang sistem demokrasi yang kufur. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar