STATUS ANAK DARI HASIL PERZINAAN DI DALAM ISLAM
Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari
Perbuatan Zina”, sebagai berikut:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada
lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki
tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut
bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. Jika kedua orang yang
berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana
hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah
pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa
menjadi wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?
(Fulanah di Solo)
Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.
1. Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya
berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita
itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat
berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina
dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur:
3:
الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki pezina tidaklah
menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina
tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu
diharamkan atas kaum mukminin.”
b. Wanita tersebut melakukan
istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina
dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya
dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu.
Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya
kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu
kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui
bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia
melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan
‘iddah1 karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu
dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak
seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina
dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa
(32/112): “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama
(yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang
kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk
mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal
bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas,
Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’2 -karena
dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah
wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan
rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli
dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan
istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena
wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk
melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan
budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya
yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka
anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina
(yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki
yang menzinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita
tawanan perang) pada perang Khaibar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ
غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ
اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli
wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah
bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar
serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits
ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang
tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik
bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki
syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)
2. Anak hasil zina tidak
dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita
mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah
anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya
anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu
dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu
bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh
syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan
oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang
pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih
dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dengan
demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan
kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan
menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan
pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut
hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana
dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan
ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka
(20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali
apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan
hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya
bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya
sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya.
Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana
pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari
berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri.
Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki
tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan
air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan
melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu
seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah
dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat
Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu
yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak
tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur
ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami
istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh
bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan
istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak
yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya
dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi
radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
3. Jika kedua orang
yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka
pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada
jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu
dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana
mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang
menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab
anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat
keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin
bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu
dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung
dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya
tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil
perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya
dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang
dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak
keduanya4. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika
mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai
keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa
harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih
Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan
demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan
anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu
tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa
menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan
bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan
‘ashabah5 wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah,
putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung
atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya6.
4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud
dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya…. Adapun sekarang,
urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”
Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan
Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ …
فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka
pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya
maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu
‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan
guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))
Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits
ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak
punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau
walinya ada namun tidak mau menikahkannya7.”
Jika ada yang
bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan
‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama?
Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu
Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa
kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris
semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan
nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian
untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 ‘Iddah
adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang
diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika
diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.
2 Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
3 Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh
masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk
pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai
pernyataan dari suami bahwa laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai
pernyataan dari istri bahwa murka Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya
dirinya jika suaminya benar.
4 Pendapat bahwa anak hasil nikah
syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam
Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288),
Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar)
dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).
5 Yaitu seluruh lelaki yang
mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan
mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang
telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan
yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul
fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.
6 Lihat
mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar
Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul
Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).
7 Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar